Jakarta, 28 November 2025
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan serangkaian langkah perbaikan sistem kegawatdaruratan dan tata kelola layanan kesehatan usai tragedi yang menimpa almarhumah Irene Sokoy di Papua. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan persoalan yang terjadi tidak hanya terjadi di Papua, tetapi juga di berbagai daerah lain.
“Masalah ini terjadi tidak hanya di Papua saja. Ini kebetulan yang masuk ke berita. Tapi daerah-daerah lain hal ini pun terjadi,” kata Budi pada Konferensi Pers terkait Hasil Investigasi Penolakan Pasien di Papua, Kamis (27/11) di gedung Kemenkes, Jakarta.
Budi menjelaskan salah satu akar persoalan adalah kekurangan dokter spesialis, terutama obstetri-ginekologi (obgyn) dan anestesi di wilayah luar Jawa. Kekurangan ini berdampak langsung pada pelayanan kegawatdaruratan karena tidak ada dokter pengganti ketika dokter sedang studi atau mengikuti pelatihan.
“Kekurangan dokter spesialis dalam hal ini obgyn dan anestesi itu masif terjadi di luar Jawa. Jadi kasian kejadian-kejadian ini menimpa saudara-saudara kita yang ada di luar Jawa,” ujarnya.
Untuk mengatasi masalah mendasar tersebut, Kemenkes telah membangun sistem pendidikan berbasis rumah sakit (hospital based) dan mempercepat perekrutan putra-putri daerah untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis tersebut. Kebijakan ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang meminta penyiapan 500 rumah sakit pendidikan.
“Putra-putri daerah agar mereka tinggal di sana, mereka pegawai di sana, nggak usah nanti pindah-pindah lagi, supaya bisa menjadi dokter spesialis di daerah asal mereka,” jelas Budi.
Selain masalah SDM, Budi menyoroti lemahnya tata kelola rumah sakit daerah. Menurutnya, banyak kepala daerah justru meminta pendampingan dari Kemenkes untuk memperbaiki manajemen rumah sakit setempat.
Ia mencontohkan kasus di Papua, di mana seluruh ruang operasi direnovasi sekaligus sehingga tidak ada ruang yang bisa digunakan. Atas hal itu, Kemenkes menugaskan RSUP Dr. Sardjito untuk mendampingi Papua dalam pembenahan layanan.
“Pak Gubernur sudah datang ke sini (Kemenkes) minta didampingi supaya rumah sakit di sana beroperasi lebih bagus. Masa sih punya ruang operasi semuanya direnovasi. Harusnya bisa bertahap. Kasian, artinya nggak bisa operasi,” kata Budi.
Ia juga menekankan pentingnya disiplin pengisian data pada sistem rujukan nasional. Budi menyebut, data yang tidak lengkap membuat dokter IGD tidak mendapat informasi mengenai ketersediaan dokter spesialis atau fasilitas di rumah sakit tujuan.
“Ini cuma disiplin mengisi data yang masih terjadi, karena tata kelola atau manajemen rumah sakitnya belum bagus,” ungkapnya.
Selain memperbaiki sistem rujukan, Kemenkes juga memperkuat koordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan sebagai otoritas tertinggi di daerah. Mereka diminta meningkatkan pembinaan dan pengawasan, termasuk memberikan sanksi bila rumah sakit tidak melayani pasien gawat darurat.
“Di Undang-Undang Kesehatan yang baru, sanksinya jelas bagi pimpinan rumah sakit yang tidak melayani pasien di masa kegawatdaruratan. BPJS Kesehatan pasti akan membayar, jadi tidak ada alasan bahwa itu tidak terlayani,” tegas Budi.
Kemenkes memastikan akan terus memantau pelaksanaan hasil pemeriksaan kasus Irene Sokoy. Dalam tiga bulan ke depan, kementerian dijadwalkan kembali ke Papua untuk mengevaluasi perbaikan layanan.
"Kita harapkan kondisi layanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit di Provinsi Papua bisa kita tingkatkan dan kejadian seperti ini tidak terjadi lagi,” tutupnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui hotline 1500-567, SMS 081281562620, atau email [email protected]. (D2/SK)
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik
Aji Muhawarman, ST, MKM