Jakarta, 4 Maret 2024
Diabetes merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di masyarakat Indonesia dan perlu ditangani dengan sungguh-sungguh. Data Riskesdas pada 2018 menunjukkan adanya peningkatan angka prevalensi obesitas, yaitu 21,8%, dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 14,8%.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Dr. Eva mengatakan, tantangan dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian obesitas, di antaranya kesadaran masyarakat bahwa obesitas merupakan penyakit.
“Teknologi yang tidak mendukung aktivitas fisik dimana mudahnya transportasi dan gawai sehingga membuat masyarakat Indonesia malas bergerak kemudian peran pemerintah daerah yang masih perlu kita dorong untuk menciptakan lingkungan yang kondusif melalui aturan dan ruang-ruang, menyiapkan ruang-ruang olahraga untuk masyarakat,” kata Direktur P2P Dr. Eva dalam temu media melalui Zoom Meeting.
Dr. Eva melanjutkan, meningkatnya pengetahuan, kesadaran serta kepedulian masyarakat terhadap obesitas dengan melakukan deteksi sedini mungkin merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan dan kebugaran serta menghindari penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan lain-lain.
“Dari sisi pelayanan kesehatan, pelayanan terhadap penyandang obesitas harus dilakukan secara paripurna mulai dari upaya deteksi dini faktor risiko PTM yang dilakukan secara mandiri di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu PTM atau Posyandu), puskesmas, maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya,” kata Dr. Eva.
Dr. Eva juga mengungkapkan, obesitas sangat mungkin dicegah dengan menerapkan perilaku hidup sehat. Penerapan perilaku hidup sehat ini memerlukan komitmen setiap individu untuk ikut bertanggung jawab atas kesehatan dirinya.
“Untuk itu, saya mengajak segenap hadirin untuk segera merubah gaya hidup menjadi lebih sehat untuk mencegah obesitas, di mulai dari diri sendiri dan ikut serta menjadi agen perubahan bagi keluarga dan orang-orang terdekat serta masyarakat pada umumnya,” ungkap Direktur P2PTM.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memperingati Hari Obesitas Sedunia/ World Obesity Day (WOD) dengan menggelar temu media melalui Zoom Meeting pada Senin (4/3/2024). Temu media ini mengangkat tema global, yakni “Let’s Talk about Obesity”, yang diterjemahkan dalam tema nasional menjadi: “Ayo, Lawan Obesitas.
Tema tersebut memiliki pesan khusus yang akan disampaikan, yakni 1) masyarakat memahami tentang faktor risiko dan mau mengubah perilaku untuk mencegah obesitas sejak dini serta melakukan deteksi dini secara teratur di Posbindu maupun fasyankes; 2) pelayanan paripurna bagi penyandang obesitas untuk pengendalian penyakit sehingga mencapai berat badan yang normal.
Dr. Elsye, yang menjadi narasumber pada temu media tersebut, menyampaikan, ciri-ciri obesitas seperti lingkar pinggang laki-laki > 90 cm dan perempuan > 80 cm; tekanan darah ≥ 130/85 mmhg, gula darah puasa > 100 mg/dL; dan kadar kolesterol, yakni trigliserida ≥ 150 mg/dL, serta HDL < 40 mg/dL (laki-laki) dan < 50 mg/dL (perempuan).
“Apabila kita memiliki tiga dari lima gejala di atas, menurut International Diabetes Federation, ini sudah termasuk sindroma metabolik. Jika kita duduk minimal empat jam, kita bisa memiliki kumpulan gejala sindroma metabolik ini. Harus hati-hati kalau kita memiliki sindroma metabolik, tentunya risiko penyakit jantung akan meningkat,’ Kata Dr. Elsye.
Dr. Elsye mengatakan, kunci pencegahan obesitas, yang dapat memicu penyakit jantung, adalah gaya hidup sehat. Aktivitas fisik dan nutrisi harus dijaga dan seimbangan agar pola hidup sehat menjadikan tubuh bugar dan terhindar dari penyakit.
Menurut WHO dan Kemenkes, gaya hidup sehat mencakup:
Konsumsi berbagai macam sayur dan buah segar (minimal 400 g/hari),
Konsumsi makanan/minuman rendah lemak, gula, dan garam,
Hindari minuman beralkohol,
Jaga berat badan dan komposisi lemak tubuh tetap ideal,
Hidup aktif setiap hari,
Latihan fisik atau olahraga secara teratur
Dr. dr. Tan Shot Yen, yang juga menjadi narasumber pada temu media, menyampaikan tentang adiksi pangan. Pergeseran jenis dan pola makan menimbulkan dampak industrialisasi yang mengakibatkan turunnya konsumsi pangan padat nutrisi.
“Dampak industrialisasi itu membuat orang itu yang tadinya makan baik-baik saja akhirnya menjadi tidak baik-baik saja, karena banyak sekali imbuhannya dan menganggap pekerjaan paling penting dari apa yang kita makan,” kata Dr. dr. Tan.
Dr. dr. Tan melanjutkan, produk pangan telah diklasifikasikan ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama mencakup makanan tidak diproses/minimal proses seperti sayur/buah segar, padi-padian dan kacang-kacangan, tepung tumbuk, pasta kering atau basah yang terbuat dari tepung dan air, telur, daging ikan segar atau beku, dan susu pasteurisasi.
Kelompok kedua mencakup bahan masakan terproses, di antaranya gula, minyak, lemak, garam dan lainnya yang berasal dari bahan pangan dan digunakan di dapur. Kelompok ketiga mencakup pangan proses, di antaranya produk kalengan, buah kering, produk daging yang diasinkan, keju rumahan, roti segar tidak dikemas.
Kelompok keempat mencakup produk ultra proses, di antaranya minuman ringan, camilan kemasan, roti produk massal, berbagai produk nugget dan makan beku bermerek, aneka produk yang tidak lagi mengandung bahan utuh, diproduksi industri besar-besaran dengan komersialisasi.
“Kualifikasi kelompok pangan ini bisa menjadi suatu pegangan untuk menilai apakah makanan makanan kita baik atau tidak,” kata Dr. dr. Tan.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected]. (DJ)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid