Jakarta, 18 Maret 2024
Lebih dari 1,8 juta anak Indonesia tidak mendapat Imunisasi Rutin Lengkap selama 6 tahun terakhir, dari 2018 sampaii 2023. Akibatnya, beragam kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) terjadi di beberapa daerah sepanjang 2023.
“Pada tahun 2023 banyak kasus dan KLB PD3I, yaitu campak rubella sebanyak 136 kasus, KLB difteri 103 kasus, kasus polio 8 kasus, kasus tetanus 14 kasus, dan pertusis atau batuk 100 hari sebanyak 149 kasus,” kata Direktur Pengelolaan Imunisasi Prima Yosephine, dalam temu media Pekan Imunisasi Dunia 2024 di kantor Kementerian Kesehatan, Senin (18/3).
Prima mengungkapkan kekhawatirannya terhadap situasi ini, terutama mengingat agenda imunisasi global seperti Eradikasi Polio dan eliminasi Campak Rubella pada 2026. Ia khawatir agenda global itu tidak tercapai.
“Kalau keadaannya seperti ini terus tidak ada kemajuan di lapangan maka mungkin mimpi ini hanya akan jadi mimpi,” ucap Prima.
Prima menyebutkan, masih banyak anak yang belum diimunisasi karena beberapa alasan. Menurut temuan UNICEF dan AC Nielsen pada kuartal kedua tahun 2023, sekitar 38 persen orang tua enggan melakukan imunisasi karena takut terhadap imunisasi ganda atau lebih dari satu suntikan.
Sementara itu, sekitar 12 persen mengaku khawatir terhadap efek samping vaksin. Kekhawatiran ini didukung oleh 40 persen dari total responden yang menolak memberikan imunisasi pada anak mereka.
“Imunisasi ganda sudah terjadi di banyak negara dan ini cukup aman. Sebenarnya mereka ini tidak maunya bukan karena sudah punya pengalaman sendiri, tetapi karena dengar dari orang lain,” tutur Prima.
Untuk mengurangi angka anak yang belum mendapatkan imunisasi, penguatan strategi imunisasi rutin sangatlah penting. Salah satu pendekatan tersebut adalah memperkuat sisi suplai, termasuk kesiapan vaksin dan logistik, kesiapan wilayah, imunisasi kejar, imunisasi tambahan masal (ORI), kualitas tenaga kesehatan serta pencatatan dan pelaporan.
Selain itu, penguatan juga perlu dilakukan dari sisi permintaan dengan aktif melakukan sosialisasi dan edukasi, pemberdayaan masyarakat dan pelibatan lintas sektor.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Hartono Gunardi menekankan perlunya imunisasi kejar untuk melengkapi imunisasi yang tertunda pada anak-anak.
Ia menambahkan, dalam pelaksanaanya, imunisasi kejar bisa dilakukan dalam dua cara, yakni memberikan imunisasi tanpa harus diulang dari awal atau melakukan program suntikan ganda yang telah terbukti aman dan efektif.
“Tidak ada imunisasi yang hangus, jadi yang belum dapat tinggal dilanjutkan saja,” katanya.
Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satari menegaskan, Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam melakukan program imunisasi pada anak. Indonesia telah memberikan 450 juta suntikan imunisasi terhadap 5 juta anak yang lahir setiap tahunnya.
“Kita telah melakukan imunisasi, bukan lagi ribuan atau puluhan ribu, tapi jutaan, tingkat pelaporan efeknya masih rendah dibanding negara lain. Artinya, imunisasi itu aman,” katanya.
Dia menambahkan, keamanan ini tidak hanya terjadi pada suntikan tunggal, tetapi juga suntikan ganda. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan angka kejadian KIPI atau reaksi samping pasca-imunisasi yang signifikan.
“KIPI memang ada, ada yang serius ada juga yang ringan tapi jumlahnya sangat rendah,” kata dia.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected].
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid