Jakarta, 6 Juni 2024
Perilaku hidup sehat dengan menjalankan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 diharapkan dapat memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia. Kebiasaan rajin mencuci tangan dan memakai masker saat batuk atau flu sebaiknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya saat pandemi.
Meskipun COVID-19 telah menjadi endemi, bukan berarti penyakit ini hilang sepenuhnya. Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 terus bermutasi sehingga masih memungkinkan seseorang terpapar dan sakit.
Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, MHK-IM mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. Sebab, kasus COVID-19 masih terjadi pada masa endemi.
“Setelah pandemi berakhir, kita jadi endemi. Ada terus (yang sakit COVID-19), tapi kasusnya tidak banyak dan gejalanya tidak berat. Makanya, tetap waspada, jangan menurunkan kewaspadaan,” pesan Prof. Hinky saat dihubungi dari Jakarta, ditulis Kamis (6/6).
“Tetap rajin cuci tangan, pakai masker kalau batuk atau orang yang batuk harus pakai masker. Jangan terlalu lama di tempat kerumunan, jangan terlalu lama di tempat yang ventilasinya buruk. Itu protokolnya, seumur hidup mesti kita lakukan. Jangan menunggu sampai ada pandemi yang lain.”
Prof. Hinky menjelaskan, infeksi COVID-19 terjadi ketika terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh. Proses terjadinya penyakit berawal dari interaksi antara agen penyakit (virus), manusia (host), dan lingkungan sekitarnya.
“Ada host, agen penyakit, dan daya tahan tubuh kita sama lingkungan. Kalau itu terganggu, ya, kita jatuh sakit. Jika kita divaksinasi walaupun terinfeksi, sakitnya tidak berat, tidak masuk ICU, tidak sampai sesak napas,” tegasnya.
“Virusnya akan ada terus dan virus berubah (bermutasi). Karena itu, kita mesti waspada terus, jangan lalai, jangan menganggap sudah divaksin bisa bebas, ya tetap waspada.
Vaksin bukanlah satu-satunya cara untuk mencegah COVID-19. Faktor lain yang sama pentingnya, yakni perilaku hidup sehat seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memastikan sirkulasi udara yang baik.
“Itu semua ditambah vaksin. Sehingga meskipun sudah divaksinasi, tapi kalau tidak pakai masker, tidak menghindari kerumunan, ya, bisa saja kena. Kalau kita perhatikan, kita melaksanakan protokol kesehatan juga vaksinasi itu jauh lebih baik dari negara-negara lain di seluruh dunia,” kata Prof. Hinky.
Vaksin tidak Sebabkan Kekebalan Runtuh
Pada masa endemi COVID-19, hoaks seputar vaksin masih beredar luas di media sosial. Salah satu hoaks yang baru-baru ini beredar mengklaim bahwa melakukan vaksinasi COVID-19 sebanyak empat kali atau lebih akan meruntuhkan sistem kekebalan tubuh.
Menurut Ketua Komnas KIPI Prof. Hinky Hindra Irawan Satari, klaim tersebut tidak benar. Prof. Hinky mengatakan, data menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapatkan vaksinasi ulang justru memiliki risiko lebih rendah untuk terpapar COVID-19. Bahkan jika mereka terpapar, gejalanya biasanya ringan.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi ulang melemahkan sistem kekebalan tubuh,” tegas Prof. Hinky.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah mengeluarkan edukasi tentang manfaat vaksin COVID-19. Pertama, vaksin COVID-19 merangsang sistem kekebalan tubuh. Vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh manusia akan merangsang timbulnya imun atau daya tahan tubuh seseorang.
Kedua, vaksin COVID-19 mengurangi risiko penularan. Tubuh seseorang yang telah disuntikkan vaksin akan merangsang antibodi untuk belajar dan mengenali virus yang telah dilemahkan tersebut. Dengan demikian, tubuh akan mengenali virus dan mengurangi risiko terpapar.
Ketiga, vaksin COVID-19 mengurangi dampak berat dari virus. Dengan kondisi kekebalan tubuh yang telah mengenali virus, jika sistem imun seseorang kalah dan kemudian terpapar, maka dampak atau gejala dari virus tersebut akan mengalami pelemahan.
Keempat, mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity. Semakin banyak individu yang melakukan vaksin di sebuah daerah atau negara, maka kekebalan kelompok akan tercapai sehingga meminimalisir risiko paparan dan mutasi dari virus COVID-19.
*Tidak Ada Laporan Kematian Masif Akibat Vaksin*
Klaim menyesatkan yang beredar di media sosial menyebutkan bahwa penerima vaksin COVID-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun. Narasi mengenai prediksi kematian akibat vaksin mRNA ini keliru atau tidak benar.
“Setelah pemberian vaksin COVID-19 dilakukan Post-Marketing Surveillance (PMS), dilihat keadaan orang yang menerima vaksin. Apabila dihitung sekarang, sudah lebih dari 3 tahun vaksin itu diberikan,” jelas Prof. Hinky.
“Kalau ada kematian secara masif (akibat vaksin) pasti sudah ada datanya di Post-Marketing Surveillance. Sampai saat ini, belum ada laporan di jurnal atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kematian masif setelah 3 tahun karena vaksin mRNA, tidak ada satupun laporannya. Di Indonesia, juga tidak ada laporan seperti itu.”
Pada 2022, sebuah video yang beredar di media sosial mengklaim bahwa vaksin COVID-19 mRNA dapat menyebabkan kematian pada lansia di atas 70 tahun dalam 2 hingga 3 tahun setelah vaksinasi. Pernyataan dalam video tersebut adalah tidak benar.
Hingga kini, belum ada hasil penelitian yang dapat membuktikan kematian pasca-vaksinasi disebabkan oleh vaksin secara langsung. Kasus kematian pasca-vaksinasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, hormon, dan penyakit bawaan.
“Itu juga tidak benar, ya. Kematian lansia mungkin akibat komorbid atau memang dia terinfeksi COVID-19. Sampai sekarang, tidak ada laporan soal vaksin COVID-19 mRNA menyebabkan kematian pada lansia,” ucap Prof. Hinky.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected].
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid