Jakarta, 19 September 2023
Pemenuhan perbekalan kesehatan akan diatur melalui sistem perbekalan kesehatan. Hal ini untuk memastikan kebutuhan masyarakat untuk perbekalan kesehatan terpenuhi baik dalam kondisi normal maupun kondisi KLB, wabah, dan bencana.
“Pengelolaan perbekalan kesehatan ditujukan untuk memenuhi ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan baik pada kondisi normal maupun kondisi KLB, wabah, dan bencana” jelas Direktur pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian, Agusdini Banun Saptaningsih pada Uji Publik Aturan Turunan UU Kesehatan secara daring (19/9).
Agusdini mengatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab dalam pengelolaan perbekalan kesehatan yang diatur dalam pasal 900 sd 901. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas pengelolaan kefarmasian yang merupakan sarana pengelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lain milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian ketersediaan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional untuk memastikan tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan Perbekalan Kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
“Pemerintah sudah mulai membangun dan menerapkan satu platform yaitu satu sehat logistic (digital inventory nasional) untuk monitoring stok obat dan BMHP nasional dan tracking transaksi serta distribusi obat dan BMHP per daerah.” Ungkap Agusdini
Saat ini secara bertahap pengelolaan vaksin seluruh Indonesia dilakukan satu pintu melalui aplikasi Sistem Monitoring Imunisasi (Inventory) Logistik secara Elektronik (SMILE) dan dapat dipantau secara real time. Sedangkan untuk obat AIDS, TB, dan Malaria (ATM) sudah mulai diterapkan di 3 provinsi yaitu Provinsi Papua, NTT dan DIY, lanjutnya.
Terkait dengan penggolongan obat, lanjut Agusdini dilakukan pembedaan kategori obat berdasarkan risiko penggunaan yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketepatan dalam penggunaan, penyerahan, dan distribusi obat.
“Pelayanan obat dengan resep dapat menggunakan resep elektronik dan harus melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional” tegas Agusdini.
“Untuk obat tanpa resep dalam hal ini obat bebas dan obat bebas terbatas dapat diakses masyarakat di sarana fasilitas kefarmasian maupun sarana fasilitas lain (hypermarket, swalayan, dan minimarket/HSM). Penetapan obat tersebut akan diatur lebih lanjut di Permenkes.” lanjut Agusdini.
Uji Publik digelar di Jakarta secara hybrid dan serial pada 19 – 22 September 2023, diawali dengan pembahasan topik Ketersediaan, Pemerataan, dan Keterjangkauan Perbekalan Kesehatan serta Praktik Kefarmasian dan Penggolongan Obat. Pertemuan melibatkan stakeholders dari berbagai kementerian/lembaga, organisasi profesi, asosiasi pelaku usaha, asosiasi, komunitas dan yayasan, tim ahli, dinas Kesehatan dan masyarakat.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti berharap partisipasi public ini dapat disusun untuk mengakomodir masukan dari masyarakat secara luas dan selengkap-lengkapnya, agar masyarakat mendapatkan hak yang sama, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, untuk dipertimbangkan pendapatnya dan untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan tegas beliau.
Kemenkes akan terus menghimpun masukan dan aspirasi dari masyarakat seluas-luasnya. Masyarakat umum dapat mengikuti kegiatan ini melalui youtube Kementerian Kesehatan RI dan dapat berpartisipasi aktif dengan memberikan masukan maupun usulan melalui laman website https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ selama proses penyusunan RPP berlangsung.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email kontak@kemkes.go.id.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid