Bali, 24 Agustus 2022
Wakil Menteri Kesehatan RI dr. Dante Saksono Harbuwono mengatakan prevalensi kasus resistensi antibiotik akibat mikroba terus meningkat. Saat ini, 1,27 juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi yang resistan terhadap obat.
Sejak penemuan antimikroba 70 tahun yang lalu, jutaan orang telah terhindar dari penyakit. Potensi antibiotik untuk mengobati atau mencegah penyakit telah menyebabkan peningkatan penggunaannya sampai pada titik di mana obat tersebut disalahgunakan, diperoleh tanpa resep dokter, dan sering disalahgunakan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Akibatnya, muncul masalah resistensi antibiotik akibat mikroba (AMR) yang berevolusi.
“Dampak luas AMR terus meningkat secara diam-diam di berbagai sektor termasuk ekonomi. Para ahli memperkirakan AMR dapat menyebabkan PDB tahunan global turun sebesar 3,8 persen pada tahun 2050. Kita harus mencegah hal ini terjadi dan membuat perubahan yang langgeng,” ungkap Wamenkes Dante pada pembukaan Side Event HWG ke-3 dalam kerangka G20 yang membahas masalah AMR pada Rabu (24/8) di Bali.
AMR dapat menyebabkan sulitnya proses pengobatan. Semakin banyak penyakit yang tidak dapat diobati maka perawatan penyelamatan jiwa menjadi jauh lebih berisiko, dan biaya perawatan kesehatan meningkat.
“Dalam semangat memperkuat arsitektur kesehatan global, kita harus memfokuskan kembali upaya kita untuk mengatasi AMR,” ujar Wamenkes Dante.
Setiap negara bisa bersama-sama menahan AMR melalui sejumlah upaya yang bisa dilakukan, antara lain melalui pendekatan one health, peningkatan surveilans AMR, peningkatan kapasitas laboratorium dan diagnostik.
Pengawasan lintas sektoral untuk penggunaan dan konsumsi antimikroba sangat penting untuk memahami dan memantau AMR. Data yang memadai juga mempengaruhi pengambilan di tingkat nasional, regional, dan global.
Peningkatan penelitian dan pengembangan AMR juga harus dilakukan, terutama pada obat-obatan baru, vaksin, terapeutik, dan diagnostik (VTD), termasuk layanan diagnostik antimikroba. Begitupun dengan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus dilakukan lebih luas.
Dikatakan Wamenkes, upaya lainnya dilakukan dengan meningkatkan investasi di bidang penelitian, peningkatan kapasitas, dan pemanfaatan teknologi.
“AMR mengancam kesehatan, ekonomi, dan pencapaian SDGs. Untuk menumbuhkan kapasitas penelitian dan pengembangan global, kita harus mengamankan pendanaan yang cukup dan berkelanjutan,” ucap Wamenkes Dante.
Sama seperti COVID-19, Wamenkes Dante menilai AMR dapat berpotensi menjadi pandemi jika tidak diatur penggunaan antibiotik. Penting untuk menerapkan kebijakan, undang-undang, dan komitmen terus-menerus untuk memastikan tanggung jawab akses dalam penggunaan antimikroba.
“Kami berharap kepada negara-negara anggota G20 untuk memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pengendalian AMR yang berkelanjutan di tingkat nasional dan global. G20 adalah forum yang ideal untuk melakukan ini,” tutur Wamenkes.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan meningkatnya populasi manusia dan maraknya aktivitas manusia berpengaruh terhadap degradasi lingkungan. Hal itu telah berdampak secara signifikan yang menimbulkan ancaman kesehatan.
Dalam hal ini pendekatan konsep one health, menurutnya, memberikan pilihan untuk memastikan seluruh pemangku kepentingan dari disiplin ilmu yang berbeda dapat bersama-sama menyelesaikan permasalahan kesehatan ini.
“Bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan harus dapat kita pahami bahwa resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan,” ucap Menteri Syahrul.
Kementerian Pertanian bersama-sama kementerian/lembaga lain, serta pemaku kepentingan terkait telah menyusun rencana strategis dan peta jalan dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba.
“Kami berharap langkah-langkah kita ke depan akan semakin kuat dan terpadu dalam rangka kerja sama one health itu,” ujar Menteri Syahrul.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan resistensi antimikroba merupakan salah satu tantangan kesehatan terbesar di berbagai dunia dan telah ditetapkan sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan terbesar masyarakat dunia.
Penggunaan antibiotik tidak bijak ditengarai sebagai faktor pemicu meningkatnya kejadian resistensi antimikroba.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan akan selalu berkomitmen untuk ikut berperan aktif dalam upaya pencegahan resistensi antimikroba,” tutur Menteri Wahyu.
Meningkatnya laju produk perikanan dari tahun ke tahun menunjukkan tingkat konsumsi ikan semakin meningkat. Sebagai salah satu produsen terbesar perikanan dunia Indonesia tertantang untuk terus berupaya melakukan peningkatan produksi perikanan dan memenuhi kebutuhan konsumsi dari sektor perikanan.
“Kami mengerti kesehatan ikan dan seluruh produk perikanan bisa berpengaruh terhadap kesehatan manusia, sehingga penting bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk sadar dan mengerti dan tentang hal ini,” ungkap Menteri Wahyu.
Dikatakan Wahyu, pihaknya akan mengoptimalisasi pengawasan serta penerapan sanksi terhadap pelanggaran, peredaran, dan penggunaan antimikroba yang tidak sesuai standar pada bidang perikanan.
“Guna mewujudkan kesehatan nasional, Kementerian Kelautan dan perikanan akan mengoptimalkan pendekatan one helt melalui berbagai data dan informasi hasil pengawasan,” ucap Wahyu.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id (D2).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
drg. Widyawati, MKM