Jakarta, 26 Juli 2024
Beredar narasi di media sosial yang menyebutkan bahwa vaksin polio memicu kanker dan HIV. Klaim vaksin polio memicu kanker dikaitkan dengan kontaminasi vaksin polio dengan virus simian 40 (SV40). SV40 terdapat dalam sel ginjal monyet yang digunakan untuk menumbuhkan vaksin polio. Vaksin polio tersebut disuntikkan pada periode 1950-an sampai 1960-an.
Sementara itu, klaim vaksin polio menyebabkan HIV dikaitkan dengan dugaan efek dari Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) di Afrika. Ada narasi yang menyebutkan bahwa dugaan kemunculan HIV merupakan KIPI dari vaksinasi polio di Afrika yang diperkenalkan pada akhir 1950-an.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Prima Yosephine, M.K.M menegaskan bahwa vaksin polio yang digunakan di Indonesia saat ini terjamin keamanannya.
Ia menjelaskan, pemberian vaksin polio tetes saat Pekan Imunisasi Nasional (PIN) aman bagi bayi dan anak. “Vaksin polio tetes yang digunakan saat PIN, yaitu novel Oral Polio Vaccine Type 2 atau nOPV2. Vaksin ini diproduksi oleh PT Bio Farma,” tegas Prima di Jayapura, Papua, ditulis Jumat (26/7).
“Vaksin ini mengandung virus polio tipe 2 yang hidup dan dilemahkan. Berbagai penelitian menunjukkan, vaksin nOPV2 aman dan dapat ditoleransi oleh golongan usia bayi dan anak.”
Data Keamanan nOPV2 telah dikaji oleh Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) berdasarkan data dari 253 juta dosis nOPV2 yang diberikan di 13 negara. Hasil kajian menyimpulkan bahwa tidak ada risiko berbahaya.
“Vaksin nOPV2 sudah digunakan di Indonesia sejak akhir 2022 pada saat pelaksanaan Sub PIN Aceh dan Sumatera Utara. Kemudian, juga telah digunakan pada saat Sub PIN di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),” kata Prima.
“Seluruh laporan KIPI serius merupakan koinsiden, tidak ada yang berhubungan dengan vaksin atau pemberian imunisasinya, sehingga disimpulkan bahwa vaksin ini aman.”
Vaksin Polio Saat Ini Tidak Mengandung Virus SV40
Merujuk informasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penelitian vaksin polio yang menemukan adanya kontaminasi virus SV40 itu dilakukan pada hewan. Temuan ini kemudian menimbulkan kekhawatiran kemungkinan virus SV40 dapat menyebabkan kanker pada manusia.
Namun, sebagian besar penelitian—yang mengamati hubungan antara SV40 dan kanker tersebut—tidak menemukan hubungan sebab akibat antara penerimaan vaksin polio yang terkontaminasi SV40 dan perkembangan kanker.
Buku berjudul, “Vaccines and Your Child: Separating Fact from Fiction” yang diterbitkan Columbia University Press pada 2011 memaparkan secara rinci vaksin polio dan virus SV40.
Pada 1960, temuan kontaminasi virus SV40 terjadi ketika vaksin polio disuntikkan terhadap hamster yang baru lahir sehingga mengakibatkan tumor besar di bawah kulit serta di paru-paru, ginjal, dan otak. Saat penemuan ini dipublikasikan, kekhawatiran terjadi lantaran vaksin polio sudah disuntikkan kepada jutaan anak di AS, Inggris, Jerman, dan Swedia.
Selama beberapa tahun berikutnya, para peneliti melakukan serangkaian studi. Peneliti membandingkan prevalensi kanker pada anak-anak yang menerima vaksin polio yang terkontaminasi virus SV40 dengan anak-anak yang tidak divaksinasi. Hasilnya, angka kejadian kanker pada kedua kelompok adalah sama.
Pada pertengahan 1990-an, otoritas kesehatan meyakini bahwa vaksin polio yang terkontaminasi SV40 tidak menyebabkan kanker. Ditegaskan juga bahwa tidak ada vaksin polio yang digunakan saat ini mengandung virus SV40.
Selain itu, tidak ada bukti kuat tentang vaksin polio dapat memicu HIV. Dalam jurnal berjudul, “Polio vaccine samples not linked to AIDS” yang terbit di Nature pada 26 April 2001, para peneliti tidak menemukan bukti meyakinkan yang mendukung hipotesis bahwa HIV-1 ditularkan melalui vaksin polio tetes.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected]
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
Siti Nadia Tarmizi, M.Epid