Jakarta, 24 Maret 2025
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya eliminasi Tuberkulosis (TBC). Dengan lebih dari 1 juta kasus dan 125.000 kematian setiap tahunnya, TBC menjadi ancaman kesehatan serius masyarakat. Saat ini, Indonesia menempati peringkat kedua kasus TBC terbanyak di dunia, dengan beberapa provinsi di Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan sebagai penyumbang kasus tertinggi, masing-masing mencatat lebih dari 40.000 kasus.
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Ina Agustina, menegaskan pentingnya akselerasi program penanggulangan TBC secara menyeluruh.
“Setiap jam, 14 orang meninggal karena TBC di Indonesia. Kita harus bergerak bersama. Jika tidak dimulai sekarang, target eliminasi 2030 akan sulit tercapai,” ujar dr. Ina dalam temu media yang digelar pada Senin, (24/3/2025).
Pada 2024, Indonesia telah mencatatkan 889 ribu notifikasi kasus TBC. Namun, pencapaian inisiasi pengobatan TBC sensitif obat (SO) masih berada di angka 81%, di bawah target 90%. Sementara itu, keberhasilan pengobatan TBC resisten obat (RO) baru mencapai 58%, jauh dari target 80%.
Untuk mempercepat eliminasi TBC, Kementerian Kesehatan menerapkan enam strategi utama, termasuk penguatan promosi dan pencegahan, pemanfaatan teknologi, serta integrasi data dengan rumah sakit dan Puskesmas.
“Kami terus memperkuat penemuan kasus dengan pemanfaatan teknologi seperti X-ray portable, Tes Cepat Molekuler, dan PCR, serta memberikan insentif dan SKP bagi tenaga kesehatan yang terlibat,” jelas dr. Ina. Inovasi lainnya mencakup e-learning TBC yang telah diakses lebih dari 491.000 tenaga kesehatan serta penerapan sertifikat kesembuhan otomatis bagi pasien.
Pemerintah juga memperkuat keterlibatan lintas sektor dengan mendorong pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) sebagaimana amanah dari Perpres No. 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Saat ini TP2TB di 21 provinsi dan 142 kabupaten/kota. Kolaborasi dengan kementerian/lembaga, komunitas, media, serta pemanfaatan dana desa menjadi bagian penting dalam upaya ini.
“Eliminasi TBC bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan. Kita butuh keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi profesi, komunitas, dan media,” tambah dr. Ina.
Peran Pemerintah Daerah dalam Eliminasi TBC
Sejalan dengan upaya tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diwakili oleh Dr. TBC. Chaerul Dwi menegaskan komitmen pemerintah dalam menurunkan kasus TBC sebesar 50% dalam lima tahun melalui Program Quick Win. Program ini mencakup pemeriksaan kesehatan gratis serta penurunan jumlah kasus secara signifikan.
“Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam kebijakan penanggulangan TBC. Kami mendorong agar setiap daerah dapat menyesuaikan perencanaan dan anggarannya untuk mengatasi masalah ini. Jangan sampai keterbatasan anggaran menjadi kendala,” tegas Dr. Chaerul.
Pada 2025, target nasional yang harus dicapai meliputi 90% deteksi kasus, 100% inisiasi pengobatan, serta tingkat keberhasilan pengobatan di atas 80%. Pencapaian target ini diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus dan kematian akibat TBC secara signifikan.
“Pencegahan dan pengobatan TBC harus menjadi prioritas utama. Tanpa kebijakan yang kuat dan anggaran yang memadai, target tersebut sulit dicapai. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus memastikan alokasi anggaran yang tepat,” tambah Dr. Chaerul.
Peran Komunitas dalam Eliminasi TBC
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Deputi Perwakilan WHO di Indonesia, dr Momoe Takeuchi mengapresiasi Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Kesehatan, atas upaya yang dilakukan selama ini. Momoe juga mengakui kepemimpinan Kementerian Dalam Negeri dalam memperkuat keterlibatan pemerintah daerah – yang merupakan suatu langkah penting dalam mengubah strategi nasional menjadi dampak di tingkat lokal.
“Karena kita tahu: Mengakhiri TBC tidak hanya soal kesehatan. Mengakhiri TBC juga merupakan isu sosial, ekonomi, dan hak asasi manusia. Itulah mengapa keterlibatan masyarakat merupakan inti dari upaya mengakhiri TBC,” kata Momoe
Perwakilan komunitas TBC, dr. Henry Diatmo, menekankan pentingnya peran komunitas dalam upaya eliminasi TBC. Saat ini, komunitas menjalankan enam kegiatan utama dalam program 2024–2026, termasuk investigasi kontak, skrining populasi berisiko tinggi, pendampingan pengobatan, serta monitoring berbasis komunitas melalui platform Lapor TBC.
“Program komunitas TBC telah menjangkau 160 kabupaten/kota dan akan diperluas menjadi 229 wilayah pada tahun 2025. Dari wilayah intervensi di 150 kabupaten/kota, komunitas berhasil berkontribusi sebesar 29% terhadap total kasus yang ter-notifikasi,” jelas dr. Henry.
Capaian terapi pencegahan TBC (TPT) juga meningkat signifikan, dengan 81,2% kontak rumah tangga telah memulai TPT. Komunitas juga berperan dalam mendampingi pasien selama pengobatan melalui konseling, pemantauan minum obat, hingga pendampingan digital. Beberapa daerah seperti DIY dan Kalimantan Barat bahkan telah memberikan insentif serta bantuan transportasi bagi kader komunitas.
Meski banyak praktik baik telah dilakukan, tantangan terbesar masih terletak pada aspek pendanaan. Komunitas mendorong pemerintah untuk mengalokasikan pendanaan nasional yang stabil serta melibatkan sektor swasta dalam investasi alat diagnostik, teknologi digital, dan program CSR. Dukungan perlindungan sosial bagi pasien TBC juga dinilai penting agar mereka dapat menjalani pengobatan hingga sembuh.
Dalam momentum Hari TBC Sedunia, komunitas mengajak seluruh elemen masyarakat, pemerintah, mitra pembangunan, sektor swasta, hingga individu untuk bersatu dalam eliminasi TBC.
“Saatnya bertindak. Bersama kita bisa mengeliminasi TBC,” tegas dr. Henry.
WHO menetapkan target eliminasi TBC dengan menurunkan insidensinya menjadi kurang dari 1 kasus per 1 juta penduduk pada tahun 2050. Untuk mencapai target ini, diperlukan berbagai strategi, salah satunya pengembangan dan adopsi vaksin yang lebih baik untuk pencegahan TBC.
Prof. Erlina selaku peneliti utama nasional vaksin TBC mengatakan, vaksin TBC kandidat M72/AS01E saat ini dalam uji klinis fase 3 global yang dimulai Maret 2024. Uji coba ini berlangsung di lima negara, termasuk Indonesia, dengan melibatkan hingga 20.000 peserta, termasuk individu dengan HIV.
“Peserta menerima vaksin atau plasebo dalam uji coba tersamar ganda untuk menilai efektivitas dan keamanannya. Jika berhasil, M72/AS01E bisa menjadi vaksin pertama dalam lebih dari satu abad yang mencegah TBC paru pada remaja dan dewasa,” ujar Prof. Erlina.
Ia menambahkan vaksin ini telah dikembangkan sejak awal 2000-an dan sebelumnya menunjukkan perlindungan sekitar 50% dalam uji klinis fase 2b selama tiga tahun pada orang dewasa yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
WHO memperkirakan bahwa dalam jangka waktu 25 tahun, tingkat perlindungan ini dapat menyelamatkan 8,5 juta jiwa, mencegah 76 juta kasus baru TBC, dan menghemat biaya sebesar USD 41,5 miliar bagi rumah tangga yang terdampak TBC.
Prof. Erlina mengungkapkan, keberhasilan vaksin tidak hanya diukur dari efektivitasnya dalam uji klinis, tetapi juga dari kemampuannya menjangkau dan diterima oleh masyarakat luas. Untuk memastikan vaksin TBC seperti M72/AS01E benar-benar memberikan dampak maksimal, diperlukan perhatian serius terhadap empat aspek penting yaitu: ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan penerimaan masyarakat.
“Dengan meningkatnya beban TBC di Indonesia, upaya untuk mengembangkan vaksin yang lebih efektif harus didukung oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, peneliti, serta masyarakat luas. Vaksin M72/AS01E memberikan harapan baru dalam pencegahan TBC, sehingga memerlukan waktu dan dukungan agar dapat tersedia untuk masyarakat yang membutuhkan,” Kata Prof. Erlina.
Kementerian Kesehatan mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk terus mendukung penelitian dan pengembangan vaksin TBC, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan TBC. Dengan kerja sama yang erat, kita dapat mewujudkan target eliminasi TBC pada tahun 2050 dan menciptakan masa depan yang bebas dari penyakit ini.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Kesehatan RI.Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui hotline 1500-567, SMS 081281562620, atau email [email protected]. (DJ/SK)
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik
Aji Muhawarman, ST, MKM