Jakarta, 14 Oktober 2024
Indonesia terlibat dalam diskusi fortifikasi pangan skala besar yang melibatkan negara-negara selatan. Indonesia telah menerapkan fortifikasi wajib pada garam, tepung terigu, dan minyak goreng.
Pemerintah Indonesia melaksanakan program fortifikasi pangan sebagai salah satu intervensi prioritas untuk mengatasi defisiensi vitamin dan mineral di masyarakat.
Dalam 20 tahun terakhir, kesehatan masyarakat di Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan. Namun, defisiensi zat gizi mikro masih menjadi masalah yang terus terjadi. Saat ini, data terkait status zat gizi mikro di Indonesia masih sangat terbatas.
Pada 1990-an, Indonesia mencatat rekor defisiensi yodium yang tinggi. Hingga saat ini, kasus anemia, terutama pada ibu hamil, masih menjadi masalah yang cukup serius.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dr. Niken Wastu Palupi, MKM menyatakan, kekurangan zat gizi mikro merupakan penyebab terbesar kedua kematian anak balita di Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya mengatasinya melalui transformasi kesehatan di pilar layanan primer.
“Keterjangkauan fasilitas, infrastruktur, pengobatan, dan peralatan medis serta meningkatkan layanan primer dan rujukan perlu dikuatkan. Deteksi dini dan menurunkan angka kematian ibu masuk dalam strategi nasional kita,” ujarnya pada Diskusi Pembelajaran dan Kolaborasi Antar Negara-negara Selatan terkait Fortifikasi Pangan Skala Besar di Hotel JW Marriot, Jakarta, Senin (14/10).
Dr. Niken juga mengajak semua pihak untuk mempertimbangkan strategi selanjutnya, yakni kolaborasi antar-negara serta mengadopsi praktik terbaik dari pengalaman setiap negara.
Director of Nutrition Bill and Melinda Gates Foundation Meetu Kapur menyatakan, secara global, negara-negara Selatan memiliki regulasi terkait fortifikasi pangan. Namun, menurutnya, masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan akses terhadap pangan berkualitas.
Keberhasilan fortifikasi pangan bergantung pada penentuan prioritas melalui implementasi kebijakan dan pendanaan atas keterlibatan pemangku kepentingan dan peningkatan kapasitas.
Pada diskusi ini, setiap negara dapat berbagi pengalaman unik, karena setiap proyek berbeda-beda. Pertukaran dan kolaborasi di antara regulator dan pelaksana, terutama di negara-negara berkembang, menjadi hal yang penting.
“Negara-negara di Selatan mempunyai tantangan malnutrisi yang serupa, di antaranya defisiensi mikronutrien dan kelebihan mikronutrien,” ucap Kapur.
Sebagai contoh praktik baik, inovasi dan program fortifikasi nasional di Nigeria memungkinkan kita mempelajari bagaimana sektor publik dan swasta dapat berkolaborasi dengan lebih bermakna.
Kerja sama di Pakistan juga menjadi contoh yang patut ditiru, terutama dalam penanganan masalah kesehatan perempuan dan usia reproduksi serta program imunisasi yang efektif.
Semua perwakilan negara dan pakar teknis yang hadir dalam diskusi ini menunjukkan komitmen mereka untuk bekerja sama. Mereka berupaya menemukan solusi ilmiah berbasis bukti yang inovatif untuk mengatasi berbagai masalah besar yang dihadapi dunia saat ini.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected].
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid