Jakarta, 30 September 2024
Obat antibiotika tidak boleh diberikan sembarangan dan harus sesuai dengan resep dokter. Hal ini untuk menghindari resistensi akibat penggunaan antibiotika yang tidak tepat dalam melawan infeksi bakteri.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, menjelaskan pentingnya pemberian antibiotika yang benar oleh dokter. Masyarakat juga diimbau untuk tidak membeli antibiotika secara bebas, karena obat ini termasuk dalam golongan obat keras.
“Obat antibiotika adalah obat untuk membunuh bakteri, sementara obat antimikroba lainnya, ada antivirus, antijamur. Jadi, ada obat untuk bakteri, virus, jamur. Pemberian antibiotika harus sesuai dengan indikasi,” ujar Syahril di Jakarta, ditulis Senin (30/9).
“Indikasi yang diberikan pada obat antibiotika dilakukan oleh dokter. Karena itu harus resep dokter, dan tidak boleh obat antibiotika dibeli bebas. Sebab, termasuk obat keras dan pemberiannya harus sesuai indikasi.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan antibiotika ke dalam tiga kelompok, yang disingkat AWaRe (Access, Watch, Reserve). Kelompok Access mencakup antibiotika yang direkomendasikan untuk infeksi umum dan mudah diakses.
Kelompok Watch terdiri dari antibiotika yang digunakan pada pasien dengan penyakit berat di fasilitas kesehatan. Penggunaan antibiotika ini harus dipantau dengan cermat untuk menghindari kelebihan dosis.
Sementara itu, kelompok Reserve mencakup antibiotika yang hanya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk mengobati infeksi berat yang disebabkan oleh patogen resisten atau kebal terhadap berbagai obat.
Terkait dengan jenis-jenis antibiotika, Syahril menegaskan, indikasi pemberian obat kepada pasien, salah satunya berbasis bukti (evidence based).
“Berdasarkan evidence based itu contohnya, kalau batuk pilek, obat yang diberikan A. Kemudian, kalau pasien mengalami infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran cerna, infeksi saluran kencing, obatnya B. Ini yang dinamakan sesuai evidence based, literaturnya,” tegasnya.
“Selanjutnya, dokter boleh memberikan obat dengan catatan melihat gejala-gejala pada saat pasien melakukan pemeriksaan. Misal, pasien bergejala demam, nyeri.”
Apabila pasien tidak bergejala dan nyeri, bahkan tidak ada infeksi yang lain, dokter diharapkan tidak langsung memberikan obat antibiotika.
“Dokter pun jangan buru-buru memberikan obat antibiotika. Harus ada indikasi dari pasiennya dan melihat gejala, seperti demam, nyeri,” sambung Syahril.
“Akan tetapi, kalau gejala pasien lebih berat atau dengan obat antibiotika yang berdasarkan evidence based kurang berhasil, maka idealnya dilakukan pemeriksaan laboratorium kultur untuk melihat jenis bakteri dan obat yang tepat.”
Hasil pemeriksaan kultur akan menunjukkan jenis antibiotika yang tepat untuk mengobati infeksi bakteri yang dialami pasien. Jika antibiotika yang diberikan tidak sesuai, infeksi tidak akan sembuh.
Infeksi Akibat Resisten Obat
Bagi pasien yang mengalami infeksi akibat resistensi obat antibiotika, penanganannya harus dilakukan dengan tepat. Kondisi dan gejala pasien akan menjadi pertimbangan apakah diperlukan perawatan di rumah sakit atau tidak.
“Dirawat di rumah sakit atau tidak, tergantung kondisi pasien. Biasanya memang benar, pasien dikatakan resisten karena gejalanya sudah berat, disuntik obat A tidak mempan. Faktor lainnya, karena tidak dilakukan uji kultur,” terang Juru Bicara Mohammad Syahril.
“Idealnya, pasien yang sudah resisten harus melakukan uji kultur. Proses ini agak lama, sekitar dua mingguan pemeriksaannya.”
Syahril menambahkan, penyakit infeksi, termasuk infeksi akibat resistensi obat antibiotika, dapat menular. Oleh karena itu, pasien yang dirawat harus diisolasi agar tidak bercampur dengan pasien lain yang mengalami penyakit berbeda, seperti diabetes atau kanker.
“Tidak boleh tercampur. Pasien infeksi harus sekelompok dengan pasien infeksi lain, harus sama-sama diisolasi. Kalau bakteri resisten di dalam tubuh pasien sendiri, maka gejalanya akan menjadi berat dan juga sangat menulari, misalnya, tuberkulosis (TB),” tambahnya.
“Apabila bakteri TB resisten terhadap obat antibiotika, tentunya bahaya buat pasien itu sendiri. Dia harus minum obat oral dan suntik dalam jangka waktu yang lebih panjang. Lalu, bakterinya jauh lebih berbahaya dan menular kepada orang lain daripada (bakteri) yang tidak resisten.”
Oleh karena itu, Syahril kembali mengingatkan agar para dokter tidak terlalu cepat memberikan obat antibiotika kepada pasien. Tindakan itu dapat menjadi salah satu penyebab utama resistensi obat.
“Di negara-negara yang sudah maju, dokter diawasi dalam memberikan obat antibiotika. Tidak boleh dokter memberikan secara sembarangan. Kadang-kadang, pasien atau keluarga di sana juga mengatakan kepada dokter supaya jangan dikasih obat antibiotika dulu,” ucapnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected].
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
Siti Nadia Tarmizi, M.Epid