Kemenkes Hebat, Indonesia Sehat

Kemenkes Hebat, Indonesia Sehat

Melawan Hoax Pandemic Treaty

Jakarta, 25 Juni 2024

Baru-baru ini, beredar narasi-narasi kontroversial di media sosial Tanah Air mengenai Perjanjian Pandemi, atau yang dikenal sebagai Pandemic Treaty. Namun, narasi-narasi ini berpotensi menyesatkan publik. Faktanya, Pandemic Treaty bertujuan meningkatkan koordinasi, kolaborasi, dan kesetaraan internasional dalam mencegah, mempersiapkan, dan merespons pandemi pada masa depan.

Sejumlah narasi menyesatkan yang beredar mulai dari gangguan kedaulatan negara, proses negosiasi tertutup, larangan penggunaan obat tradisional di Indonesia, dan potensi pemberian otoritas absolut kepada WHO. Narasi pertama, yakni Pandemic Treaty disebut-sebut telah gagal disepakati karena banyak negara merasa perjanjian itu mengganggu kedaulatan negara dan dapat mengancam keselamatan rakyat.

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., selaku delegasi RI untuk perundingan Pandemic Treaty atau Perjanjian Pandemi, meluruskan kesalahpahaman tersebut. Prof. Wiku menjelaskan, negosiasi Perjanjian Pandemi masih berlangsung dan belum mencapai kata sepakat.

Dalam Sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 pada 1 Juni 2024, negara-negara anggota WHO sepakat untuk melanjutkan pembahasan Pandemic Treaty. Targetnya, kesepakatan dapat dicapai pada WHA ke-78 tahun 2025 atau lebih awal melalui sesi khusus WHA.

Proses negosiasi Pandemic Treaty dilakukan melalui Badan Perundingan Antarpemerintah atau Intergovernmental Negotiating Body (INB). Artinya, setiap negara anggota WHO berhak memberikan masukan dan menyuarakan pandangannya terhadap setiap pasal dalam rancangan perjanjian.

Rancangan Perjanjian Pandemi, yang terdiri dari 37 pasal, dibahas secara menyeluruh atau satu per satu, mulai dari penataan kata dan kalimat hingga substansi setiap pasal. Selama proses perundingan, terdapat pasal-pasal yang sudah disepakati, setengah disepakati, dan belum disepakati, sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut.

Indonesia, sebagai salah satu negara anggota WHO, aktif memberikan masukan dan memperjuangkan kepentingan nasional, terutama dalam isu-isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi, dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.

Dalam hal ini, setiap negara menyuarakan cara dan mekanisme yang tepat untuk memperkuat pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi secara bersama-sama, dengan tetap menjaga kedaulatan negara masing-masing.

“Pandemic Treaty sedang berlangsung pembahasan dan negosiasinya antara negara anggota WHO. Semua negara anggota WHO menginginkan adanya Pandemic Treaty yang dapat mencegah dan melindungi seluruh masyarakat dunia dari ancaman pandemi,” jelas Prof. Wiku di Jakarta, Jumat (21/6).

“Karena negosiasinya masih berlangsung, maka mari kita bersama-sama berpartisipasi mendukung pengamanan kesehatan global (global health security). Semua negara tetap perlu memastikan bahwa kesepakatan yang akan dicapai sesuai dengan kepentingan nasional dan global.”

Pasal 24 ayat 2 rancangan Perjanjian Pandemi WHO telah menegaskan bahwa “Tidak ada satupun ketentuan dalam Perjanjian Pandemi WHO yang dapat ditafsirkan memberikan wewenang kepada Sekretariat WHO, termasuk Direktur Jenderal WHO untuk mengarahkan, memerintahkan, mengubah atau menentukan kebijakan nasional dan/atau undang-undang domestik, jika diperlukan atau kebijakan negara mana pun atau untuk mengamanatkan atau dengan cara lain memaksakan persyaratan apapun agar Negara Anggota mengambil tindakan tertentu, seperti melarang atau menerima pelancong, menerapkan mandat vaksinasi atau tindakan terapeutik atau diagnostik atau menerapkan lockdown.”

Rancangan Perjanjian Pandemi ini berlandaskan pada prinsip penghormatan penuh terhadap martabat, hak asasi manusia, dan kebebasan mendasar setiap orang.

Seperti semua instrumen internasional, perjanjian baru ini, jika dan ketika disetujui oleh negara-negara anggota, akan tunduk pada otoritas pemerintah masing-masing negara. Masing-masing negara akan mengambil tindakan apa pun dengan mempertimbangkan undang-undang dan peraturan nasionalnya.

Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR, yang juga menjadi delegasi RI untuk pertemuan INB, menegaskan, tidak perlu khawatir terhadap kedaulatan negara selama perundingan Pandemic Treaty. Prof. Tjandra meyakini, para diplomat Indonesia memegang teguh kedaulatan negara.

“Saya percaya kemampuan diplomat kita untuk melakukan negosiasi dengan sangat baik. Di satu sisi, membuat dunia ini aman, jangan sampai ada pandemi lagi atau kalau ada pandemi lagi kita sudah siap menghadapinya, tapi di sisi lain, kedaulatan negara kita itu juga sangat terjaga,” tegasnya.

Kedua, negosiasi Pandemic Treaty dianggap serba tertutup tanpa partisipasi publik. Narasi ini mengkritisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lantaran negosiasi Pandemic Treaty dilakukan tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik.

Faktanya, pembahasan Pandemic Treaty melibatkan 194 negara-negara anggota WHO dan berbagai pemangku kepentingan terkait. Selain perwakilan negara anggota, proses ini juga melibatkan badan-badan PBB seperti Food and Agriculture Organization (FAO), World Organisation of Animal Health (WOAH), United Nation Environment Programme (UNEP), dan non-governmental organization (NGO) internasional.

“Semua perlu tahu bahwa sebenarnya inisiatif membuat Pandemic Agreement atau Pandemic Treaty dari Negara Anggota-anggota WHO yang berjumlah 194 negara. Saat pembahasan rancangan perjanjian berlangsung, ada perwakilan dari beberapa Negara Anggota WHO yang memimpin prosesnya,” terang Prof. Wiku.

“Jadi, yang hadir adalah seluruh Negara Anggota WHO di dalam forum tersebut dan mereka memberikan masukan, harusnya isinya seperti ini, itu namanya proses negosiasi.”

Selain itu, WHO telah menyelenggarakan dengar pendapat publik untuk menjaring masukan tambahan dari berbagai pihak. Para pemangku kepentingan yang terlibat meliputi organisasi internasional, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi filantropis, lembaga ilmiah, medis, kebijakan publik dan akademik, serta entitas lain yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan/atau keahlian yang relevan.

Ada pula narasi yang mempertanyakan alasan rancangan atau draf Perjanjian Pandemi tidak dipublikasikan ke publik. Padahal, publik harus mengetahui isi pasal-pasal yang dibahas.

“Pertemuan Intergovernmental Negotiating Body yang membahas Pandemic Treaty sebagian besar bisa diakses oleh publik melalui situs WHO yang diakses di https://inb.who.int. Bahkan, drafnya pun semuanya ada di situ,” sambung Prof. Wiku.

“Di dunia digital yang makin maju, seluruh masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia bisa memonitor, bisa melihat bagaimana proses negosiasinya.”

Ketiga, penerapan Pandemic Treaty di Indonesia dapat berdampak atas dilarangnya penggunaan obat herbal, jamu dan pijat sebagaimana tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berupa denda Rp500 juta.

Menanggapi narasi tersebut, Prof. Wiku Bakti Bawono Adisasmito mempertanyakan pasal dalam UU Kesehatan yang menyebutkan denda larangan obat herbal. Ia menegaskan, rancangan Pandemic Treaty itu tidak memuat pasal yang mengatur tentang denda terkait larangan penggunaan obat herbal.

“Kita harus cermat, pasal berapa di UU Kesehatan yang dimaksud denda tersebut. Apabila dikaitkan dengan rancangan Pandemic Treaty, di pasal mana yang ada denda larangan obat herbal? Tidak ada itu,” kata Prof. Wiku yang pernah menjabat juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga telah mengklarifikasi bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memuat ketentuan tentang denda Rp500 juta untuk penggunaan obat herbal, jamu, bekam, dan pijat.

Narasi lain yang beredar menyebutkan bahwa denda larangan obat herbal tercantum dalam Pasal 446 UU Kesehatan. Namun, faktanya, Pasal 446 UU Kesehatan terkait dengan upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah.

Isi pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Setiap Orang yang tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Keempat, Pandemic Treaty akan memberikan akan memberikan otoritas mengikat secara hukum kepada WHO atas seluruh pemerintahan di dunia. Narasi ini juga menyatakan bahwa peran WHO akan menjadi absolut dan negara-negara harus tunduk. Narasi ini keliru karena peran WHO adalah mendukung negara-negara Anggota.

Prof. Wiku menjelaskan, WHO bertugas memfasilitasi semua negara, terutama negara anggota, selama proses negosiasi Pandemic Treaty dalam pertemuan Intergovernmental Negotiating Body (INB).

“Adanya Intergovernmental Negotiating Body yang dihadiri oleh seluruh negara anggota menandakan, kita sedang negosiasi dan mereka ingin punya kesepakatan dunia supaya bisa mengamankan dunia. Jadi yang diamankan ya semuanya,” terangnya.

“Apakah semua negara punya kemampuan yang sama? Tidak, karena semua tidak memiliki kemampuan yang sama, maka dibuatlah Perjanjian Pandemi ini agar saling bantu. Ada prinsip-prinsip yang harus dijaga, prinsip equity, kesetaraan, prinsip solidarity. Itu salah satu prinsip yang penting.”

Prof. Tjandra Yoga Aditama, yang pernah menjabat sebagai direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, menambahkan, tugas WHO adalah mendukung 194 Negara Anggotanya. Dalam hal ini, Sekretariat WHO membantu agar proses negosiasi dapat berjalan dengan lancar.

Artinya, 194 Negara Anggota inilah yang sebenarnya menjadi penentu kesepakatan negosiasi Pandemic Treaty.

“Sekretariat WHO ikut hadir mendampingi kalau ada yang diperlukan dia yang siapkan. Tapi, yang memimpin negosiasi adalah perwakilan dari beberapa negara. Indonesia pernah jadi pemimpin untuk kelompok pembahasan terkait International Health Regulation (IHR). Ada mekanisme untuk memilih siapa saja perwakilan negara untuk memimpin negosiasi,” tambah Prof. Tjandra.

“Sekali lagi, yang memutuskan kesepakatan Pandemic Treaty pada Sidang World Health Assembly nanti adalah Negara Anggota, bukan WHO-nya. WHO tidak memutuskan apapun dalam sidang. Kalau perjanjian ini disepakati, artinya kesepakatan ini adalah produk dari Negara-negara Anggota yang akan tertuang dalam dokumen.”

Negara-negara anggota WHO akan memutuskan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Pandemi, termasuk apakah ketentuan-ketentuan tersebut akan mengikat secara hukum bagi Negara-negara Anggota berdasarkan hukum internasional.

WHO pun telah menekankan bahwa tugas Sekretariat WHO dalam proses kesepakatan Pandemic Treaty adalah untuk mendukung negara-negara—negara-negara anggotanya—saat mereka bernegosiasi dan menyepakati perjanjian internasional baru. Sekretariat WHO tidak menentukan isi perjanjian internasional apa pun.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email kontak@kemkes.go.id.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik

dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid