Jakarta, 5 Agustus 2015
Persoalan antibiotika tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga secara global yang menjadi satu persoalan yang cukup pelik dan harus segera diatasi bersama – sama. Penggunaan antibiotika yang bijak dan rasional dapat mengurangi beban penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sebaliknya, penggunaan antibiotika secara luas pada manusia dan hewan yang tidak sesuai indikasi, mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan.
Demikian disampaikan Menkes Prof. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M (K), ketika membuka seminar Cegah Resistensi Antibiotik, di Jakarta (5/8). Seminar yang diadakan atas kerjasama Kemenkes, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) dan WHO tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman bahaya Anti Microbial Resistance (AMR) pada masyarakat dan menyusun rekomendasi bersama sebagai dasar memerangi Resistensi Antimikrobia.
Dalam hal ini, lanjut Menkes, pertama – tama perlu adanya surveilans atau penelitian. Sering sekali diagnosis penyakit tidak menggambarkan resistensi dari obat, khususnya anti biotika. Kedua, kita semua menyadari, begitu kita masuk RS tentu kuman – kuman nosokomial ini dapat mengancam kita
“Dan kalau boleh kita mengaku, coba di hitung ada berapa sekarang kapsul antibiotika kita di rumah kita masing – masing yang masih bersisa dan tidak kita habiskan pemakaiannya”, seloroh Menkes
dr. Hari Paraton, Sp.OG (K) selaku Ketua Komita Pengendalian resistensi Antimikroba (KPRA) dalam kesempatan yang sama juga menyayangkan data terkait angka kematian akibat AMR di Indonesia masih sangat minim.
“Angka kematian, terselip dari kasus – kasus kematian di rumah sakit, seperti meninggal karena serangan jantung, struk, pneumoni. Kalau di lacak di rekam medik ternyata ada kuman resisten yang tidak dilaprokan, karena sistem pelaporan belum mengacu kepada mikroba. Cita – cita kami untuk menghimpun data secara nasional seberapa besar prevalansi AMR, bagaimana profile antibiotik di Indonesia” , ujarnya
Penjualan antibiotik secara bebas di apotik, kios atau warung, juga menyimpan “antibiotik cadangan” di rumah, hingga memaksa dokter untuk minta dituliskan resep antibiotik, merupakan masalah yang terjadi di masyarakat. Ini dapat mendorong terjadinya resistensi antibiotika pada manusia.
Adanya resistensi Antibiotik, menyebabkan penurunan kemampuan antibiotik tersebut dalam mengobati infeksi dan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan. Lebih lanjut, hal ini menyebabkan terjadinya masalah seperti: Meningkatnya angka kesakitan dan menyebabkan kematian, Meningkatnya biaya dan lama perawatan, Meningkatnya efek samping dari penggunaan obat ganda dan dosis tinggi.
Berdasarkan Laporan terakhir dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam “Antimicrobial Resistance: Global Report on Surveillance” menunjukkan bahwa Asia Tenggara memiliki angka tertinggi dalam kasus resistensi antibotik di dunia, khususnya infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureusyang resisten terhadap Methicillin, sehingga mengakibatkan menurunnya fungsi antibiotik tersebut.
Penelitian Anti Microbial Resistance
Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia, pada tahun 2000-2004 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP dr. Kariadi Semarang, membuktikan bahwa sudah terdapat kuman multi-resisten seperti MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcusaureus) dan bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases).
Selain itu di temukan 30% sampai dengan 80% penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi. Hal ini tidak hanya merupakan ancaman bagi lingkungan yang berkaitan tetapi juga bagi masyarakat luas. Sedangkan menurut data WHO, pada tahun 2013 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Data ini menunjukan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.
Menjawab permasalah yang ada, Kementerian Kesehatan telah membentuk KPRA, yang terdiri dari pengambil kebijakan bidang kesehatan, organisasi profesi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk dapat selalu bekerja sama menjadi penjuru dalam mengembangkan dan mengawal Program Pengendalian Resistensi Antimikroba secara luas, baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di masyarakat.
Turut hadir sebagai pengisi materi: WHO Representative Indonesia, dr. Kancit Limpakarjanarat dan Ketua YOP, dr. Purnawati Sujud, Sp.A (K). Selain itu ada pemberian testimoni terkait resistensi mikroba dari Mantan Menkes dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH dan Guru Besar Farmakologi FKUI Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id